Comments

Wednesday 4 March 2015

KENANGAN pada KORBAN TSUNAMI

Tsunami Aceh Desember 2004 sudah berlalu 10 tahun, namun bagi diriku dan kebanyakan diantara kita, peristiwa itu seakan baru saja terjadi kemarin, dan setiap pembicaraan akan tsunami selalu membuat mata berkaca-kaca dan suara menjadi serak. Bagi saya pribadi saya sudah pasrah dan ikhlas akan kehilangan kedua orang tua saya, serta kehilangan keponakan serta sanak saudara lainnya, namun entah kenapa setiap bertemu dengan orang tua yang perawakannya mirip dengan Bapak atau ibu saya, maka hati saya tersentak dan menatap mereka dengan penuh harap bahwa mereka adalah Bapak atau ibu saya, saya mengharap mereka tidak hilang atau meninggal saat tsunami, saya selalu mengharap (dibawah sadar) bahwa mereka ternyata terhanyutkan ketempat lain dan selamat - hilang ingatan sehingga tidak kembali ke kampung halamannya (bagaikan di film), namun hidup ini bukanlah film yang bisa kita atur sebagaimana kehendak kita. Anda mungkin akan berkata "ah, saya tidak seperti itu, kini saya telah dapat hidup dalam keadaan "normal" kembali seperti sediakala. (saya memberikan tanda petik pada kata normal karena hal inilah yang patut menjadi renungan kita semua karena apa yang terjadi pada saya "mungkin" juga dirasakan oleh kita semua di Aceh saat ini. Mungkin kita dapat bertepuk dada menyatakan bahwa sebagai orang Islam kita lebih tawakal dari orang kafir dalam menerima musibah tusnami yang datang 10 tahun yang lalu, namun mari kita jujur pada kita sendiri kenapa setiap pembicaraan tsunami saat ditanyakan dimana, bagaimana kita saat tsunami terjadi, maka kita saat membuka kembali lembaran hari itu seakan-akan terasa Tsunami 26 Desember 2004 bagaikan baru terjadi beberapa saat yang lalu, kemarin, minggu lalu, bulan lalu? Rasanya angka 10 tahun itu berlalu bagai mimpi. Anda masih coba mengingkari hal tersebut diatas, coba ingat kembali mengapa saat kita menceritakan ayah, ibu, abang, adik atau saudara kita, kawan kita yang telah menjadi korban bencana tsunami tersebut,, mata kita masih berkaca-kaca, suara kita menjadi parau dan bayangan saat 26 Desember 2004 bermunculan dimata kita? Atau kenapa dada ini terasa sesak, nafas rasanya berat setiap kata tsunami diucapkan, kisah tsunami diceritakan? Bila ini belum membuat anda sadar, maka berjiarahlah ke Makam Para Syuhada korban Tsunami, baik di Ule Lhe maupun di Jalan Blang Bintang, ucapkan salam dan doa lalu pejamkan mata anda dengarkan semilir angin yang lewat maka Demi Allah bila air mata anda tidak menetes, mata anda tidak basah dan jiwa anda tidak ingin menjerit, segera pulang dan kunjungi psykiater!!!! Pertanyaan besarnya KENAPA ini semua terjadi? Jawabnya sederhana saja, kita memang tawakal dalam menerima musibah bencana tsunami ini, tapi jiwa kita butuh pelampiasan kesedihan yang semua ini tidak kita dapatkan karena kemanapun kita berpaling maka semua yang kita lihat juga mengalami musibah yang sama seperti kita, kita tidak memiliki 44 hari berkabung, 44 hari untuk kita melampiaskan kesedihan kita, 44 hari untuk berbagi duka (oleh karenanya kenapa dalam Islam masa berkabung, masa idah ditetapkan 44 hari) - Ini yang tidak kita miliki, ini yang telah kita lewati sehingga kesedihan dan kehilangan yang maha besar itu terpendam jauh dilubuk hati yang terdalam, maka percayalah walaupun 10 tahun lagi kita lewati maka JIWA-JIWA KOSONG yang berseliweran di Tanah Rencong ini akan terus berkeliaran dan terus mencari KEPUASAN YANG FANA yang perlahan-lahan akan menyeret kita keambang kehancuran keambang kesesatan dan PINTU NERAKA YANG MENGANGA menunggu kita semua. Wah kok begitu sih, anda pasti bertanya? Lihatlah kesekeliling anda, lihatlah kedalam diri anda, maka kita akan temukan betapa saat ini kita berlomba untuk membuat rumah yang bagus, mengejar mobil yang bagus, menghabiskan waktu didepan gadget yang modern dan lupa pada sekitar kita. Masih tidak percaya, lihatlah kembali kemana kita saat liburan, Sabtu dan Minggu?, Liburan Sekolah,, Cuti Tahunan? Kita akan memilih berekreasi kepantai, kerestoran mahal, kekota besar, ke luar negeri. Bagaimana dengan saudara di kampung, mungkin anda akan berkata, payah kalau ke kampung mereka tahunya hanya minta bantu ini dan itu, mereka bukannya membuat anda refresh tapi menjadi beban tambahan namun mungkin anda lupa mereka juga terkena dampak tsunami seperti anda. Artinya kita semua terkena sindrom limpahan bantuan NGO International pasca tsunami, semua kemudahan, semua pemberian itu membuat kita lupa pada hakikat kehidupan, kita dipaksa berpacu untuk mendapatkan berbagai bantuan yang ditawarkan, mulai dari rumah, modal kerja dll dan ini terus berlanjut hingga kini, kita membuat berbagai proposal bantuan ke pemerintah dan pemerintah yang juga adalah kita tidak mau kalah, kenapa bantuan harus mengalir kemereka saja, saya juga perlu lantas terjadilah berbagai praktek SIMSALABIM. Kita bagai berpacu untuk mendapatkan kembali apa yang telah hilang akibat musibah tsunami, kita berlomba untuk mendapatkan kembali rumah yang telah hancur, motor atau mobil yang hilang, kita terus terpacu untuk mengejar kembali yang hilang berikut bunganya sehingga kita tidak puas dapatkan kembali rumah bantuan sederhana sehingga sebagian tidak cukup dapat satu, ingin dapat dua, tiga, kita tidak puas dengan ukuran kecil kita rombak dan kita buat minimalis, bertingkat, kita tidak puas hanya naik avanza kita berlomba beli fortuner, atau mobil yang mewah lainnya, kita terus berlomba menggapai kebahagiaan yang kita kira akan kita dapatkan dengan segala property yang kita miliki, kemewahan yang kita miliki sehingga lupa hakekat kebahagiaan bukan pada harta, namun jiwa-jiwa yang kosong ini terus menggapai-gapai meraih mimpi yang fana. Lantas apa yang harus kita lakukan???? Bila tiba pada pertanyaan ini maka saya juga BINGUNG, namun setelah saya kaji lebih dalam maka semua ini sebenarnya mungkin karena saya dan kita semua masih kurang IKHLAS dalam berbuat. Semoga ALLAH mengampuni saya dan kita semua.

0 komentar:

Post a Comment

SHARETHIS

Share artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg